Era disrupsi menghadirkan tantangan bagi pesantren dan santri untuk mengambil peran dalam kehidupan masyarakat. Peran pesantren dan santri sudah banyak yang bisa digantikan oleh institusi-institusi modern. Peran yang terkait dengan pengetahuan keagamaan juga terdisrupsi dengan munculnya otoritas baru di berbagai saluran media baru berbasis teknologi digital yang saat ini aksesnya lebih mudah menjangkau khalayak umum.
Pesantren dikenal telah memainkan peran yang cukup menyeluruh dalam kehidupan sosial masyarakat, mulai dari urusan pertanian, perdagangan, penyelesaian konflik sosial, politik, kesehatan, dan juga masalah-masalah keagamaan. Namun seiring dengan kemajuan bidang-bidang tersebut yang telah merambah melalui lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga sosial yang bersifat masif hingga ke wilayah pedesaan, peran pesantren menghadapi tantangan.
Sejauh ini, pesantren merespons dengan turut masuk ke gelanggang aspek-aspek tersebut dengan mereformasi lembaga dan arah pendidikan yang dilakukan dan juga dengan mengembangkan lembaga yang bersifat kekinian. Berdirinya lembaga-lembaga bisnis dan keuangan dan dibukanya pendidikan dengan minat keilmuan yang terbilang baru di pesantren, seperti bidang sains dan teknologi, menunjukkan hal tersebut. Belakangan, pesantren juga berusaha membekali santri-santrinya dengan kecakapan digital saat menyadari bahwa disrupsi digital bahkan dapat berdampak serius pada pemahaman keagamaan dan cara berpikir santri. Namun apakah hal tersebut cukup berhasil? Terlalu dini rasanya untuk memberikan penilaian karena apa yang dilakukan pesantren tersebut banyak yang masih berada dalam tahap rintisan.
Meminjam kacamata analisis Yuval Noah Harari dalam buku _21 Lessons for the 21st Century_ (2018), agama tampak sulit untuk mengambil peran dalam ikut mengatasi persoalan-persoalan teknis dan kebijakan (_technical problems_ dan _policy problems_) masyarakat modern. Masalah teknis dalam kehidupan sudah banyak dipecahkan oleh sains dan teknologi, sedangkan peran pesantren dalam bidang ini sudah jauh tertinggal.
Pesantren berusaha masuk ke bidang-bidang sains alternatif, seperti halnya Annuqayah ikut menggarap konsep kesehatan swadaya sejak awal tahun 2000-an. Namun kita tahu, bidang-bidang alternatif seperti itu tidak berada di arus utama pengembangan sains, sehingga kerja-kerja artikulatif yang dibutuhkan membutuhkan kerja keras dan upaya yang luar biasa. Untuk konteks Annuqayah, kita tahu sejauh mana Annuqayah bergerak dalam mengembangkan konsep kesehatan swadaya—mungkin termasuk juga isu lingkungan hidup—yang sebenarnya sangat radikal dan berpotensi menjadi “budaya tanding” dalam diskursus keilmuan dan praksis di bidang tersebut.
Berkaitan dengan masalah kebijakan, pesantren tampak masih kesulitan untuk memberikan tawaran visioner atas berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Harari dalam bukunya mencontohkan bagaimana agama hanya sampai pada level mengecam materialisme modern tapi tidak bisa berbuat banyak untuk mengubah keadaan. Dalam kaitannya dengan kritik terhadap ekonomi kapitalis, agama bisanya hanya “_to redo the paint and place a huge crescent, cross, Star of David, or om on the roof_”, atau memberi aksesoris bersimbol agama pada bangunan ekonomi kita dan belum mampu untuk menyentuh aspek mendasar yang bisa menjadi tawaran alternatif bagi kebijakan pengembangan ekonomi.
Dalam konteks Annuqayah, kita juga melihat upaya untuk masuk kebidang teknis di bidang pengembangan ekonomi masih berupa rintisan. Lembaga di internal Annuqayah yang dicita-citakan membawa tawaran konsep dan praktik baru di bidang pengelolaan keuangan ternyata masih menghadapi banyak tantangan teknis di tengah apresiasi awal pada konstruksi visi yang berusaha untuk dikembangkannya.
Jika demikian, lalu apa yang tersisa? Harari menjelaskan bahwa agama juga bisa berperan di wilayah identitas (_identity_), yang di antaranya digambarkan terkait dengan visi yang lebih luas dalam bidang-bidang kehidupan. Harari meyatakan bahwa identitas terbukti telah menjadi kekuatan sejarah yang penting. Meski identitas oleh Harari dihubungkan dengan konstruksi yang bersifat “fiktif”, kita tampaknya patut untuk merenungkan: apakah konsep identitas santri dapat menjadi kekuatan untuk mengharapkan peran pesantren dalam kehidupan masyarakat di era disrupsi?
Pada titik inilah menurut saya kita diajak untuk berefleksi hal yang mungkin sudah terbilang klasik tentang identitas santri. Secara khusus, kita mungkin perlu merefleksikan kembali beberapa poin yang cukup sering disampaikan pengasuh Annuqayah tentang visi Annuqayah. KH A Warits Ilyas misalnya saat pembukaan Lokakarya Visi Pendidikan Annuqayah tahun 2008 menyampaikan rumusan visi: “lahirnya generasi _abdullah_ (_‘ibadullah_) yang _mutafaqqih fiddin_ dan mempunyai ketakwaan dan berilmu pengetahuan sehingga menjadi _mundzirul qawm_”. Pada rumusan ini, kita bisa menemukan beberapa poin gagasan, seperti kesadaran akan posisi penghambaan, pentingnya bekal keilmuan dan ketakwaan sebagai fondasi, dan peran kemasyarakatan.
Selain itu, kita juga sering sekali mendengar penekanan para masyayikh Annuqayah tentang Islam ahlussunnah wal jama’ah yang menjadi fondasi keagamaan Annuqayah. Memang, istilah ini kadang menjadi cukup problematis pada tataran praktis karena menaungi sebuah konsep yang “diperebutkan” oleh kalangan Islam dari berbagai kelompok. Namun secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa Annuqayah mengajarkan pemahaman ahlussunnah wal jama’ah melalui praktik-praktik yang dapat kita serap dari teladan para pengasuh Annuqayah terutama dari generasi terdahulu yakni gerenasi pertama dan kedua. Namun demikian, living aswaja yang dipraktikkan para pengasuh Annuqayah tersebut menurut saya masih menjadi sesuatu yang masih terus perlu digali dan dieksplorasi sehingga semakin jelas dimensi paradigmatiknya. Meminjam istilah Ismail Fajrie Alatas dalam _What is Religious Authority?_ (2021), penting bagi kita untuk melihat secara lebih dekat dan mendalam _articulatory labor_ (kerja artikulasi) yang dilakukan para masyayikh Annuqayah di dalam menerjemahkan (sunnah) aswaja dalam agenda kerja kumulatif memupuk dan membangun (jamaah) Annuqayah.
Jika mau diturunkan pada level praktis, kita bisa merefleksikan bagaimana identitas santri berpengaruh bagi seorang santri yang menjalankan perannya sebagai kepala desa dan pengurus publik lainnya di tengah disrupsi politik yang luar biasa. Demikian juga, bagaimana identitas santri dapat memberi arahan bagi seorang santri yang terjun dalam dunia bisnis yang karena proses transformasi digital melahirkan banyak tantangan baru yang dapat menantang orientasi kesantriannya. Bagaimanakah identitas santri sebagai pendidik dapat meletakkannya dalam posisi yang ajek berhadapan dengan gonjang-ganjing dan tarikan dunia pendidikan yang cenderung mekanis dan kapitalistik?
Demikianlah mungkin sebagian dan sekelumit tantangan yang dihadapi pesantren dan kalangan santri menghadapi era disrupsi yang membutuhkan refleksi bersama. Wallahu a’lam.
Pamekasan, 3 Februari 2024