- Posted on
- Khazanah
- 565 Views
Al-Ghazâlî dan Kebiasaan Memuji Penguasa
~ Oleh Muhammad Ma’mun
Ini cuma cerita kecil tentang bagaimana seorang ulama berusaha menyelaraskan antara ilmu dan amal, antara apa yang ia katakan dengan apa yang ia lakukan. Ulama yang dimaksud adalah Abû Hâmid al-Ghazâlî, guru Sufi dari Persia abad ke-11. Ulama kelahiran Thûs ini terkenal amat ketat standar moralnya dalam soal dakwah dan pengajaran. Dalam salah satu suratnya yang ia alamatkan kepada seorang muridnya, sang Hujjat al-Islâm wanti-wanti agar sang murid pantang mengajar apapun kecuali ia mengamalkan terlebih dahulu apa yang akan ia ajarkan.
Nah, dalam buku-bukunya yang membicarakan etika spiritual seperti Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, Kitâb al-Arba‘în fî Ushûl ad-Dîn, dan Bidâyat al-Hidâyah, al-Ghazâlî menganggap pujian sebagai salah satu maksiat lidah, sebanding dengan dusta, gosip, dll. Baginya, kebiasaan memuji akan menimbulkan keburukan moral yang akan menjadi katarak batin di hati setiap Muslim yang sedang menempuh jalan ruhani.
Di dalam Kitâb al-Arba‘în, misalnya, ia mencatat setidaknya enam keburukan moral yang ditimbulkan oleh pujian; empat di antaranya menimpa mereka yang memuji (al-mâdih), dan dua sisanya pada mereka yang menerima pujian (al-mamdûh). Sehubungan dengan orang yang memuji (al-mâdih), kata al-Ghazâlî, ia terkadang terdorong untuk (i) berbicara berlebihan sehingga ia mengungkapkan sesuatu yang sesungguhnya tidak benar. Maka ia telah berbohong. Atau ia (ii) mengklaim sesuatu yang tidak ia yakini. Maka ia menjadi munafik. Atau ia (iii) mengatakan sesuatu yang tidak benar-benar ia ketahui. Maka ia telah berbicara sembarangan. Atau ia (iv) ingin menyenangkan penguasa. Padahal ia zalim. Maka ia bermaksiat karena telah membuat penguasa zalim bahagia. Orang yang dipuji (al-mamdûh), sementara itu, berisiko (v) menjadi sombong dan besar kepala karena dipuji. Padahal kedua perangai ini akan mencelakakannya di akhirat. Atau pujian (vi) membuatnya cepat berpuas diri dan malas bekerja.
Perlu diketahui, ketidaksukaan al-Ghazâlî terhadap pujian bukannya tanpa syarat. Ia menjelaskan bahwa bila orang yang memuji maupun dipuji sama-sama bebas dari keenam bahaya yang disebut di atas, pujian tidaklah bermasalah buat mereka. Malah mungkin dianjurkan. Karena itulah kita bisa mendengar hadis Nabi yang memuji beberapa di antara Sahabat beliau. Misalnya, beliau pernah memuji Abû Bakr dengan menyatakan, “Seandainya keimanan Abû Bakr dibandingkan dengan keimanan seluruh alam, ia tetap akan unggul.” Nabi juga pernah memuji ‘Umar dengan menyatakan, “Seandainya aku tidak diutus [sebagai rasul], Allah pasti akan mengutus Engkau, ‘Umar.” Ini karena beliau sudah paham bahwa pujian beliau tidak akan menimbulkan kepongahan kepada mereka.
Sayangnya, memberikan pujian merupakan bagian dari tradisi dan etiket dalam berinteraksi dengan para sultan dan wazir Dinasti Saljûq. Dan al-Ghazâlî, seperti para ulama di zamannya, tak bisa mengelak dari seremoni ini ketika beraudisi dengan sultan atau berkorespondensi dengan wazir. Bagaimana al-Ghazâlî mengelak dari keharusan mengikuti seremoni ini? Untuk mengetahuinya, kita bisa mengintip salah satu surat yang ia tulis untuk Fakhr al-Mulk, putera Nizhâm al-Mulk, yang diangkat menjadi wazir tak lama setelah ayahnya meninggal dunia. Kebetulan sekali, sejumlah surat al-Ghazâlî kepada Fakhr al-Mulk terdokumentasikan dengan baik dalam himpunan surat-surat Persia yang diberi judul Fadhâ’il al-Anâm min Rasâ’il Hujjat al-Islâm.
Dalam pembukaan suratnya, yang semestinya berisi pujian kepada Fakhr al-Mulk, al-Ghazâlî langsung menolak seremoni ini. Ia menulis, “Ketahuilah bahwa gelar-gelar yang memuji, yang biasa diberikan kepada manusia, adalah ciptaan setan dan oleh karena itu seorang Muslim yang saleh tak patut menerimanya.”
Selanjutnya, dengan gaya yang mengingatkan kita pada frase Shakespearean, “What is in a name?,” al-Ghazâlî menasihati sang wazir untuk mengabaikan kata-kata dan fokus hanya pada makna. Dengan mengambil contoh kata ‘amîr’, yang dalam bahasa Arab berarti komandan atau gubernur, dan penguasa dalam pengertian generalnya, ia menulis, “Sangatlah penting bagi [kita] untuk mengetahui pengertian hakiki dan makna batin dari kata ‘amir’. Seseorang yang memiliki ciri-ciri seorang ‘amir’ sejati, baik secara lahir maupun batin, adalah seorang ‘amir’ meskipun orang-orang tidak menyebutnya demikian. Dan orang yang tidak memiliki sifat seorang ‘amir’ adalah bukan seorang amir meskipun seluruh dunia menyebutnya ‘amir’.” Dan siapakah yang paling pantas disebut sebagai ‘amir’ alias penguasa sejati? Dengan lugas al-Ghazâlî menjawab, “Dia yang memiliki kuasa mutlak atas hawa nafsu dan amarahnya.” Menggemakan ajaran Platon tentang jiwa, al-Ghazâlî mengatakan bahwa penguasa sejati adalah dia yang menjadikan akalnya sebagai raja dan menempatkan nafsu dan amarahnya sebagai alat dan kendaraan yang dikendalikan secara mutlak oleh Raja-Akal. Dus, alih-alih memberikan pujian mentereng kepada sang wazir seperti yang dituntut oleh tradisi, al-Ghazâlî justru memberikan nasihat moral kepadanya!