Kitab Dzamm al-Kibr wa-l-‘Ujb (28) | Kitab ke-29 Ihya’ ‘Ulum ad-Din

~ Oleh: Muhammad Ma’mun
Yang paling aneh adalah ada orang yang oleh Allah diberi pengetahuan tapi miskin merasa iri kepada orang bodoh yang dibikin kaya oleh-Nya. Ia berpikir, “Mengapa kebutuhan sehari-hariku dibikin susah oleh Allah sementara aku adalah orang yang lebih cerdas dan lebih mulia daripada orang bodoh itu? Orang bodoh itu ahli maksiat dan lalai terhadap kewajiban agama. Tapi mengapa Allah mencukupkan rizkinya?”
Orang alim yang miskin itu menyangka Tuhan telah berbuat zalim kepadanya. Orang yang terpedaya ini tidak menyadari bahwa seandainya ia benar-benar diberi pengetahuan dan kekayaan oleh Tuhan, apa yang ia alami lebih dekat kepada kezaliman daripada keadilan. Orang bodoh yang dibikin miskin mungkin akan mengeluh kepada Tuhan, “Ya Tuhan, mengapa Engkau memberikan pengetahuan dan kekayaan kepadanya? Mengapa aku tidak diberi salah satu saja dari anugerah yang diberikan kepada orang alim itu?”
‘Ali ibn Abi Thalib pernah ditanya, “Mengapa orang yang alim miskin?” Ia menjawab, “Ia akan dimintai pertanggungjawaban (mahsub) mengenai pengetahuannya.”
Orang alim yang miskin mungkin berpikir bahwa kehidupan orang bodoh yang kaya raya lebih baik daripada hidupnya. Tapi seandainya ia diberi tawaran: Maukah ia menukar kecerdasan dan kemiskinannya dengan kebodohan dan kekayaan, ia pasti akan menolak. Itu berarti bahwa yang diberikan oleh Allah kepadanya lebih berharga daripada yang diberikan kepada orang bodoh itu.
Perempuan cantik yang miskin melihat perempuan bejat lagi buruk rupa memakai perhiasan indah. Ia mungkin berpikir, “Mengapa perempuan seperti aku oleh Allah tidak diberi perhiasan seperti yang dipakai oleh perempuan itu?” Perempuan cantik itu terpedaya. Ia lupa bahwa kecantikan juga mesti dipertanggungjawabkan di akhirat nanti. Dan seandainya ia diberi pilihan antara kecantikan dan buruk rupa tapi kaya raya, ia pasti akan memilih kecantikan. Itu berarti bahwa nikmat Allah kepadanya lebih berharga.
Semua waham ini pasti dimiliki oleh orang-orang yang tak mau berpikir. Sumbernya adalah kebodohan. Semua waham ini dapat dihilangkan oleh pengetahuan sejati bahwa semua yang dimiliki oleh hamba: pengetahuan, amal, rupa, watak, dan rizki, merupakan pemberian Allah semata. Bukan karena ia memang berhak memilikinya. Kesadaran ini akan membuatnya bersyukur dan tunduk kepada Allah, dan tidak bangga-diri. Mana mungkin kita akan bangga kepada sesuatu yang sebenarnya merupakan pemberian kepada kita?

Leave a Comment