Kitab Dzamm al-Kibr wa-l-‘Ujb (21) | Kitab ke-29 Ihya’ ‘Ulum ad-Din

~ Oleh: Muhammad Ma’mun
vii. Motif yang ketujuh adalah ibadah dan kewaraan. Ini pun merupakan cobaan yang lumayan berat kepada para ahli ibadah. Cara mengobatinya adalah dengan menyadari bahwa betapapun hebatnya seseorang dari segi ibadah dan kewaraan, kedudukannya masih jauh berada di bawah orang-orang alim seperti yang ditegaskan oleh Allah dalam Qur’an, “Katakan: Apakah mereka yang berpengetahuan sama dengan mereka yang tidak berpengetahuan?” Atau seperti yang dijelaskan oleh Nabi, “Kelebihan orang alim di atas ahli ibadah adalah seperti kelebihanku di atas Sahabatku yang paling rendah.”
Kalau misalnya ada yang membantah, “Kelebihan orang alim di atas ahli ibadah yang dijelaskan oleh Qur’an dan Hadis itu berlaku untuk ulama yang mengamalkan ilmunya. Bagaimana dengan ulama yang maksiat?”
Jawabannya adalah begini: Tapi bukankah kebaikan itu menghapus keburukan? Memang benar bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh seorang alim akan ia pertanggungjawabkan di akhirat nanti. Tapi pengetahuan juga bisa menjadi wasilah dan penebus dosa baginya. Keduanya sama-sama mungkin di akhirat nanti. Ini adalah urusan yang putusannya ada di tangan Allah semata. Maka alih-alih merendahkan dan mencaci ulama yang kita anggap bermaksiat, kita sepatutnya bersikap rendah hati kepadanya.
Kalau begitu, sah-sah saja bila ulama memandang dirinya lebih mulia daripada ahli ibadah berdasarkan hadis di atas, “Kelebihan orang alim di atas ahli ibadah adalah seperti kelebihanku di atas Sahabatku yang paling rendah”?
Ulama sah-sah saja memandang dirinya lebih mulia daripada ahli ibadah bila ia mengetahui nasibnya di akhirat akan baik dan ia akan selamat dari siksa Allah. Tapi apakah ia bisa mengetahuinya? Rasanya tidak mungkin!
Dengan demikian, baik ulama maupun ahli ibadah sama-sama punya alasan untuk takut akan nasibnya di akhirat nanti. Mereka sama-sama harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah di akhirat nanti; bukan perbuatan orang lain.

Leave a Comment