- Posted on
- Ihya' 'Ulum ad-Din
- 300 Views
Kitab Dzamm al-Kibr wa-l-‘Ujb (20) | Kitab ke-29 Ihya’ ‘Ulum ad-Din

~ Oleh: Muhammad Ma’mun
Kalau ada pertanyaan: Bagaimana caranya kita membenci orang yang menyebarkan ajaran yang keliru dan membenci ahli maksiat—kita diperintahkan oleh Allah untuk membenci mereka—tapi juga rendah hati terhadap mereka? Tidakkah ini kontradiktif dan sulit dilakukan?
Jawabannya begini: Perkara ini muskil dan rancu kepada kebanyakan orang karena kebencian mereka terhadap maksiat dan ajaran yang keliru bercampur dengan kesombongan diri karena ilmu dan kesalehan yang mereka miliki. Akibatnya orang alim atau ahli ibadah itu merasa jijik bila harus duduk berdampingan dengan ahli maksiat atau orang yang mereka cap sesat. Perasaan jijik itu timbul karena kesombongan tapi mereka merasa kejijikan itu murni karena kebencian terhadap kemaksiatan.
Masalahnya juga, sombong terhadap ulama atau ahli ibadah langsung kelihatan salah. Karena itu mengingatkan mereka yang tak mau mendengar nasihat ulama, misalnya, gampang. Sementara itu, sombong terhadap ahli maksiat terkesan seperti benci terhadap maksiat. Dan karena itu dianggap benar.
Untuk melepaskan diri dari perasaan ini, ketika kita sedang bertemu dengan ahli maksiat dan penganut ajaran yang keliru atau sedang melakukan amar makruf nahi mungkar kepada mereka, hati kita sebaiknya juga memikirkan tiga hal: (a) dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan di masa lalu sehingga kita tidak merasa besar kepala saat berbicara dengan mereka; (b) bahwa pengetahuan yang kita miliki, keyakinan benar yang kita anut, dan amal saleh yang kita lakukan merupakan anugerah Allah kepada kita, bukan hasil ikhtiar kita, agar kita tidak bangga-diri karenanya; dan (c) bahwa akhir hayat setiap orang—apakah husn al-khatimah atau su’ al-khatimah—adalah misteri sehingga kita dikuasai oleh perasaan takut alih-alih sombong di dalam hati.
Lalu, bagaimana caranya kita marah dalam kondisi-batin seperti ini? Kita marah karena diperintahkan oleh Allah dan Nabi, bukan marah karena ego kita. Ketika kita marah, dalam hati kita tidak ada perasaan bahwa kita akan selamat di akhirat sementara ahli maksiat itu akan celaka. Alih-alih, rasa takut kita akan dosa-dosa tersembunyi dalam batin kita lebih besar daripada rasa takut kita terhadap dosa-dosa ahli maksiat itu.