Kitab Dzamm al-Kibr wa-l-‘Ujb (19) | Kitab ke-29 Ihya’ ‘Ulum ad-Din

~ Oleh: Muhammad Ma’mun
Bisakah seseorang yang alim bersikap rendah hati bila berhadapan dengan para ahli maksiat dan mereka yang mengikuti keyakinan-keyakinan agama keliru? Bisakah ia memandang dirinya—yang ahli ibadah dan alim tentang agama—memiliki posisi di bawah mereka? Bukankah ilmu dan ibadah posisinya tinggi di sisi Allah? Bukankah tanggung jawab orang alim tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan dosanya maksiat dan keyakinan agama yang keliru?
Jawabannya adalah: iya, bisa. Yaitu bila ia mau berpikir tentang khatimah, tentang akhir hayat. Bahkan seandainya ia berhadapan dengan orang kafir sekalipun, ia tak sepatutnya tinggi hati. Sebab, orang kafir pun di akhir hayatnya masih mungkin untuk masuk Islam dan hidupnya ditutup dengan husn al-khatimah. Dan orang alim, na‘udzu bi-Llah, bisa saja di akhir hayatnya malah tersesat jalan dan menghadapi su’ al-khatimah.
Orang besar adalah orang yang posisinya mulia di sisi Allah di akhirat nanti. Anjing dan babi kedudukannya lebih mulia daripada orang yang oleh Allah ditetapkan sebagai penghuni neraka tapi ia sendiri tak menyadarinya. Dulu, kaum Muslimin memandang rendah dan mengejek ‘Umar saat ia masih belum masuk Islam. Tapi ketika Allah membuka pintu hatinya untuk masuk Islam, ia malah menjadi salah seorang Sahabat Nabi yang paling dekat dan nantinya dipercaya menjadi khalifah beliau.
Maka yang benar adalah kita tak patut untuk sombong saat bertemu dengan siapapun. Saat bertemu dengan orang bodoh, kita sebaiknya berpikir, “Orang ini bermaksiat kepada Allah karena tak punya ilmu; sementara aku bermaksiat kepada Allah biarpun aku punya ilmu. Ia lebih mungkin untuk diampuni oleh Allah daripada aku.” Ketika kita bertemu dengan seorang ulama, kita sepatutnya berpikir, “Orang ini memiliki pengetahuan yang tak kuketahui. Aku tak mungkin sekaliber beliau.”
Ketika kita bertemu dengan orang yang lebih tua daripada kita, kita sebaiknya berpikir, “Orang ini patuh kepada Allah lebih dahulu daripada aku. Amal ibadahku tak mungkin sebanyak yang sudah ia kerjakan.” Ketika bertemu dengan anak-anak, kita sebaiknya berpikir, “Mereka adalah manusia yang masih bersih dari maksiat. Sementara aku sudah berlumur dosa. Aku lebih rendah daripada mereka.”
Ketika bertemu dengan orang kafir atau penganut aliran yang keliru, kita sebaiknya berpikir, “Siapa tahu mereka akan menemukan kebenaran dan beralih ke ajaran yang lurus.”
Intinya adalah bahwa pikiran tentang akhir hayat akan mencegah kita dari bersikap sombong. Dan itu dengan menyadari bahwa kesempurnaan atau kelebihan yang sejati adalah kebahagiaan di akhirat dan kedekatan kepada Allah. Bukan kelebihan yang kita lihat di dunia ini, yang tidak akan langgeng. Karena bahaya yang akan dihadapi setiap orang di akhir hayat akan sama beratnya, semestinya kita lebih banyak memerhatikan keselamatan diri sendiri daripada keselamatan orang lain.

Leave a Comment