- Posted on
- Ihya' 'Ulum ad-Din
- 105 Views
Kitab Dzamm al-Kibr wa-l-‘Ujb (18) | Kitab ke-29 Ihya’ ‘Ulum ad-Din
~Oleh: Muhammad Ma’mun
iv. Motif yang keempat adalah kekayaan. Termasuk dalam kategori ini adalah (v) sombong karena memiliki banyak pengikut, berkuasa, dan dekat dengan penguasa. Semuanya adalah kesombongan karena sesuatu yang eksternal dari diri manusia, tidak seperti kesombongan karena rupa, kekuatan fisik, dan pengetahuan. Ini adalah kesombongan yang paling menjijikkan. Sebab, seandainya seseorang sombong karena punya rumah mewah atau kuda, misalnya, bila rumah mewahnya roboh atau kudanya mati, tidakkah ia akan kehilangan apa yang ia bangga-banggakan?
Semuanya ini—harta, kuasa, dan pengikut—bukan entitas yang menetap dalam diri manusia. Tidak seperti pengetahuan, misalnya, yang menetap dalam diri kita dan akan terus menemani kita bahkan setelah kita mati. Dan ketiganya jelas-jelas tidak akan langgeng. Dan di akhirat nanti ketiganya akan menjadi penyebab manusia celaka. Maka membanggakan ketiganya merupakan puncak kebodohan.
Setiap objek yang tidak menetap dalam diri kita adalah bukan milik kita. Ia adalah miliki sang Maha Pemberi, yang berpulang kepada-Nyalah apakah Dia akan melanggengkan pemberiannya kepada kita atau akan mencabutnya. Bila Tuhan meminta kembali apa yang Dia berikan kepada kita, ia akan lenyap dalam sekejap. Dan kita cuma sahaya yang tak punya kuasa apapun untuk mempertahankannya. Menyadari ini semua akan membuat kita terhindar dari kesombongan karena kekayaan, kuasa, dan pengikut.
vi. Motif yang ketujuh adalah pengetahuan. Ini adalah penyakit batin yang paling berat dan paling sulit untuk diobati, kecuali dengan ikhtiar keras dan mujahadah terus-menerus. Sebab, kedudukan pengetahuan memang mulia di hadapan Allah dan di mata manusia. Kedudukannya jauh lebih mulia daripada harta, kekuasaan, dll. Harta dan kekuasaan tidak akan berharga kecuali bila diiringi oleh ilmu dan amal. Karena itulah ‘Umar berkata, “Bila orang alim melakukan kesalahan, dunia pun akan ikut salah karenanya.”
Orang alim tak akan mungkin melepaskan diri dari kesombongan kecuali dengan menyadari dua hal: Yang pertama adalah menyadari bahwa pengadilan Tuhan lebih berat kepada orang alim; bahwa Dia memaklumi pelanggaran yang dilakukan karena tidak tahu, tapi tidak yang dilakukan dengan pengetahuan; bahwa orang yang melakukan maksiat kepada Allah sementara ia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah maksiat, telah melakukan pelanggaran yang paling keji. Sebab, ia tak mampu menunaikan kewajibannya karena telah mendapat anugerah pengetahuan dari Allah.
Saat Engkau berpikir bahwa sebagai orang alim atau terpelajar Engkau lebih mulia daripada orang bodoh, pikirkanlah tanggung jawab yang Engkau pikul karena status yang Engkau miliki. Tanggung jawab orang alim jauh lebih besar daripada orang lain, justru karena kemuliaannya jauh lebih tinggi daripada orang lain.
Yang kedua adalah orang alim semestinya mengerti bahwa kebesaran dan keagungan hanya milik Allah semata dan bahwa bila ia sombong, ia akan dibenci oleh-Nya. Kewajibannya di hadapan Allah adalah bersikap rendah hati. Allah berfirman kepada orang alim, “Di sisi-Ku, Engkau memiliki kedudukan mulia, selama Engkau tidak merasa memiliki kedudukan mulia. Ketika Engkau merasa memiliki kedudukan mulia di sisi-Ku, maka pada saat itulah Engkau tidak memiliki kedudukan apapun di sisi-Ku.”