Kitab Dzamm al-Kibr wa-l-‘Ujb (13) | Kitab ke-29 Ihya’ ‘Ulum ad-Din

~Oleh: Muhammad Ma’mun
5. Bagaimana Seseorang Menjadi Sombong. Kesombongan adalah akhlak batin, karakter yang tersembunyi. Tindak-tanduk dan perbuatan anggota badan yang kelihatan cuma buah dan hasilnya. Inilah yang disebut takabur. Sebutan ‘sombong’ hanya berlaku untuk akhlak batin tadi: yakni menganggap diri lebih mulia dan agung daripada orang lain.Akhlak batin ini pemicunya cuma satu: bangga-diri. Ketika seseorang bangga dengan dirinya, dengan pengetahuan yang ia miliki, dengan aktivitas-aktivitasnya, atau hal-hal lain yang terkait dengan dirinya, ia akan merasa dirinya mulia lalu sombong.Adapun takabur, yakni memamerkan kesombongan dengan anggota badan, pemicunya ada tiga: (a) internal, (b) eksternal, dan (c) selain keduanya. Pemicu internal adalah (i) bangga-diri; yang eksternal adalah (ii) dendam dan (iii) dengki; dan yang bukan keduanya adalah (iv) riya. Dus, pemicu sikap takabur ada empat.Bangga-diri sudah dijelaskan tadi. Ia menimbulkan kesombongan dalam batin. Dan kesombongan dalam batin berbuah takabur dalam tindak tanduk dan perbuatan, juga gaya hidup. Dendam terkadang memicu orang untuk takabur tanpa harus didorong oleh perasaan bangga-diri. Misalnya, ia memamerkan kelebihannya kepada orang lain yang ia anggap selevel dengan dirinya atau lebih mulia daripada dirinya karena marah. Amarah memicu dendam, dan dendam yang tertanam dalam batin melahirkan kebencian. Akibatnya, ia tak mau bersikap rendah hati kepada orang yang ia benci tersebut.Kedengkian juga memicu perasaan benci kepada orang lain. Akibatnya, orang yang dikuasai oleh kedengkian akan sulit menerima kebenaran. Ia menjadi enggan menerima nasihat dan pengetahuan dari orang yang ia benci. Banyak orang bodoh yang sebenarnya ingin mendapatkan wawasan dan pengetahuan luas, tapi tetap terkurung dalam tempurung kebodohan. Penyebabnya adalah karena ia tak mau belajar atau menerima wawasan dari orang yang ia benci. Dan pemicunya adalah kedengkian!Riya juga menjadi pemicu sikap takabur. Gara-gara ingin pamer, orang menjadi berani untuk berdebat dengan ulama atau cendekiawan yang ia sadar jauh lebih alim dan bijaksana daripada dirinya. Dan dalam hatinya ia tidak memiliki perasaan benci atau dendam kepada cendekiawan tersebut. Ia tidak mau menerima kebenaran dan tak mau bersikap rendah hati agar orang-orang yang menyimak perdebatan antara dirinya dan cendekiawan tersebut berpikir, “Dia lebih alim daripada cendekiawan itu.”

Leave a Comment