~ Oleh: Muhammad Ma’mun
iii. Nasab. Orang yang memiliki nasab atau garis keturunan mulia cenderung untuk merendahkan orang lain yang tidak memiliki nasab, sekalipun ia lebih baik secara ilmu atau amal ibadah. Caranya adalah dengan memanggil orang tersebut dengan sapaan yang menyinggung ciri-ciri fisik atau rasialnya.
Akar perilaku ini tersembunyi dalam batin. Siapapun yang memiliki nasab yang baik akan sulit melepaskan diri darinya, bahkan seandainya ia saleh dan cerdas; kecuali bila keadaan batinnya sedang seimbang. Tapi seandainya batinnya dikuasai oleh amarah, cahaya batinnya mungkin akan meredup dan dari lidahnya akan terlontar ucapan-ucapan yang menyinggung ras atau ciri-ciri fisik orang lain.
Abu Dzarr pernah adu mulut dengan seseorang di hadapan Nabi dan ia dikuasai oleh amarah. Ia berteriak, “Hei, bocah hitam!” Nabi kemudian mengingatkan, “Abu Dzarr, bocah putih tidak memiliki kelebihan di atas bocah hitam.” Mendengar ucapan Nabi, Abu Dzarr segera berbaring dan berkata kepada Sahabat berkulit hitam itu, “Kemarilah! Injak saja pipiku ini!”
Di sini kita memiliki iktibar. Nabi melarang Abu Dzarr merendahkan orang lain hanya karena dirinya berkulit putih. Itu salah dan bodoh. Sementara itu, Abu Dzarr segera bertobat dan mencabut pohon kesombongan dari hatinya dengan menghinakan anggota badannya yang paling ia banggakan. Ia tahu bahwa tidak ada yang dapat menghancurkan kesombongan kecuali penghinaan.
Pernah juga, dua orang pria saling membanggakan nasabnya di hadapan Nabi. Pria yang pertama berkata, “Aku Polan anaknya Polan. Lalu Kau? Memangnya Kau punya ibu?” Nabi bertutur, “Dua orang pria saling membanggakan nasabnya di hadapan Musa. Pria yang pertama berkata, ‘Aku Polan anaknya Polan,’ lalu menyebut sembilan orang leluhurnya. Allah kemudian berfirman kepada Musa, ‘Katakan kepada pria yang membanggakan leluhurnya itu: sembilan leluhurmu itu penghuni neraka semua. Dan Engkau penghuni yang kesepuluh.’”