Kitab Dzamm al-Kibr wa-l-‘Ujb (10) | Kitab ke-29 Ihya’ ‘Ulum ad-Din

~ Oleh: Muhammad Ma’mun
ii. Amal dan ibadah. Orang yang zuhud dan ahli ibadah pun tak lepas dari perasaan sombong, takabur, dan keinginan untuk menjadi pusat perhatian massa. Kesombongan mereka terkait dengan bayangan mereka akan posisi mereka di dunia dan di akhirat.
Di dunia, mereka menjadi sombong karena merasa yang lebih tepat orang-orang kebanyakan sowan ke rumah mereka, bukan mereka bertamu ke rumah orang lain; masyarakat takzim kepada mereka; kebutuhan-kebutuhan hidup mereka dibantu oleh masyarakat; dan mereka didahulukan dalam acara-acara seremonial. Mereka senang karena ketakwaan dan kewaraan mereka menjadi buah bibir dalam masyarakat.
Di lain pihak, mereka merasa di akhirat nanti orang-orang kebanyakan akan celaka sementara mereka sendiri akan selamat. Padahal, seandainya mereka insaf, merekalah yang sungguh akan celaka. Kata Nabi, “Bila Kalian mendengar seseorang mengutuk, ‘Celakalah manusia,’ sebenarnya dialah yang paling celaka.” Hal ini karena orang ini memandang rendah manusia, terpedaya, dan merasa aman dari siksa Allah. Merendahkan orang lain saja sudah merupakan keburukan di dalam batin. Bagaimana ia merasa aman dari siksa Allah?
Kita sepatutnya mengambil iktibar dari cerita berikut: Di negeri Israel dulu, ada seorang pria yang banyak melakukan pelanggaran dan kemaksiatan hingga ia disebut ‘orang buangan’ oleh masyarakat. Ia sedih mendengar julukan ini, hingga pada suatu hari, ia bertemu dengan orang yang begitu sering beribadah dan berbuat kebajikan hingga dijuluki ‘ahli ibadahnya bangsa Israel’. Orang buangan ini berpikir, “Aku ini sampah masyarakat; sementara orang itu ahli ibadah. Seandainya aku berguru kepadanya, mungkin Allah akan mengasihi dan mengampuniku.”
Maka mendekatlah ia ke ahli ibadah tersebut dan meminta agar diangkat menjadi murid. Ahli ibadah itu berpikir, “Aku ini ahli ibadah; sementara orang ini cuma orang buangan. Apa kata orang bila aku ketahuan duduk bersama orang buangan ini?” Ia kemudian menghardik, “Pergilah! Jangan dekat-dekat denganku lagi!”
Allah kemudian berfirman kepada nabi di zaman itu, “Kabarkan kepada kedua orang itu bahwa Aku telah mengampuni orang buangan itu, dan tidak menerima amalan ahli ibadah itu.” Hal ini karena Allah melihat hati kita, bukan perbuatan-perbuatan kita. Ketika seorang pendosa rendah hati dan jatuh karena perasaan takut kepada Allah, ia telah bertobat dan patuh kepada Allah dengan hatinya dan dengan demikian lebih bertakwa kepada Allah daripada ahli ibadah yang sombong.
Juga ada cerita bahwa seorang ahli ibadah yang sedang bersujud di sinagog didatangi oleh maling. Kepalanya yang sedang bersujud di lantai diinjak oleh maling tersebut. Dengan marah, ahli ibadah itu berteriak, “Angkat kakimu! Aku bersumpah, Allah tak mungkin mengampuni dosa-dosamu!” Ahli ibadah itu kemudian mendengar bisikan, “Justru Engkaulah yang tak akan diampuni oleh Allah!”
Al-Hasan al-Bashri pernah berkata, “Bahkan orang yang memakai wol (shahib ash-suf, para Sufi atau ahli ibadah) tak kalah besar sombongnya daripada mereka yang memakai sutera (maksudnya ahli maksiat).” Inilah penyakit yang kerap menimpa mereka yang rajin beribadah: Bila ia dilecehkan dan diganggu oleh orang lain, ia bereaksi amat keras sampai-sampai mengutuk semoga pelakunya akan dibenci dan tak akan diampuni oleh Allah. Tapi bila ia sendiri menyakiti sesama Muslim, ia tidak mengecam dirinya sekeras saat mengecam orang lain.
Kebodohan dan kedunguan ini bisa mencapai titik di mana ahli ibadah ini menantang orang lain dengan mengatakan, “Kita akan lihat bagaimana nasibnya nanti!” Ketika seseorang yang ia benci atau ia anggap musuh ditimpa musibah, ia menganggap itu karena karamah yang ia miliki. Bahwa Allah telah membantunya dan membalaskan dendamnya. Orang yang terpedaya ini seolah merasa lebih terhormat daripada para nabi karena merasa ia dibantu oleh Allah sementara para nabi tidak.
Ahli ibadah yang cerdas semestinya seperti ‘Atha’ as-Sulami yang ketika mendengar suara guntur atau melihat angin kencang datang berseru, “Musibah ini datang karena aku. Seandainya ‘Atha’ mati, mereka akan terhindar dari musibah.”

Leave a Comment