- Posted on
- Ihya' 'Ulum ad-Din
- 126 Views
Kitab Dzamm al-Kibr wa-l-‘Ujb ( 8 ) | Kitab ke-29 Ihya’ ‘Ulum ad-Din
~ Oleh: Muhammad Ma’mun
4. Motif-motif yang Mendorong Seseorang untuk Sombong. Kesombongan hanya mungkin timbul pada orang yang menganggap dirinya hebat. Dan orang tidak akan mungkin merasa dirinya hebat kecuali bila ia merasa memiliki kelebihan dalam satu atau lain bidang. Kelebihan-kelebihan tersebut bisa kita kelompokkan menjadi dua: (a) kelebihan dalam ranah agama dan (b) kelebihan dalam ranah dunia. Kelebihan dalam ranah agama meliputi (i) ilmu dan (ii) amal; sementara kelebihan dalam ranah dunia mencakup (iii) nasab, (iv) rupa, (v) kekuatan fisik, (vi) kekayaan, dan (vii) pengikut. Jadi, secara keseluruhan ada tujuh motif bagi seseorang untuk sombong.
i. Ilmu. Kesombongan mudah sekali menyerang mereka yang berpengetahuan. Nabi bersabda, “Penyakitnya pengetahuan adalah sombong.” Orang alim mudah sekali untuk sombong karena telah merasakan kehebatan, kesempurnaan, dan manisnya pengetahuan. Karena alasan ini, ia menjadi takabur dan memandang hina orang lain. Ia memandang orang-orang kebanyakan tak ubahnya kerumunan binatang.
Bila ia disapa oleh orang lain, atau orang lain menjawab salam yang ia ucapkan, atau berdiri untuk memberikan penghormatan kepadanya, atau menjawab panggilannya, ia akan menganggap semua ini sebagai penghargaan dari dirinya kepada orang tersebut dan orang asing yang tak berpengetahuan tersebut harus berterima kasih kepadanya. Orang alim ini merasa dirinya sebagai orang yang paling dermawan, karena telah memperlakukan orang lain sebaik mungkin—yang menurut dia sebenarnya tak pantas buat mereka.
Biasanya, masyarakat memberikan penghargaan yang luar biasa kepada orang alim ini, tapi ia sendiri tak bisa membalasnya dengan benar: mereka sowan kepadanya, tapi ia sendiri tak bisa mengunjungi rumah mereka; bila ia sakit, masyarakat menjenguknya, tapi ia sendiri tak bisa menjenguk bila ada anggota masyarakat yang sakit. Bila ia berteman dengan seseorang, ia akan memperlakukan temannya ini seperti pembantu saja dan menyuruhnya untuk melakukan ini itu. Seolah semua orang adalah pembantu dan jongosnya, dan pengajaran yang ia berikan kepada masyarakat merupakan pemberian yang membuatnya memiliki hak untuk merendahkan dan meminta ini itu kepada orang lain. Ini semua adalah perasaan takabur terkait dengan posisinya dalam kehidupan dunia.
Adapun takaburnya dalam kaitannya dengan kehidupan akhirat, orang alim ini merasa dirinya lebih mulia daripada orang-orang awam di hadapan Allah. Akibatnya, ia lebih mencemaskan nasib orang lain di akhirat daripada mencemaskan nasibnya sendiri di akhirat kelak. Ia merasa nasibnya di akhirat masih akan lebih baik daripada nasib orang-orang awam yang ia remehkan. Orang alim yang pikirannya seperti ini lebih pantas untuk disebut orang bodoh daripada orang alim. Pengetahuan yang ia miliki semestinya membuatnya semakin takut kepada Allah dan cemas akan tanggung jawab yang ia emban di hadapan-Nya.
Pengetahuan sejati semestinya membuat seseorang semakin takut kepada Allah, semakin rendah hati, dan melihat orang lain lebih baik daripada dirinya karena amanah yang harus ia pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan di akhirat nanti amatlah berat. Seperti yang dikatakan oleh Abu-d-Darda’, “Barang siapa semakin bertambah pengetahuannya, semakin besar penderitaannya.”