Kitab Dzamm al-Kibr wa-l-‘Ujb (6) | Kitab ke-29 Ihya’ ‘Ulum ad-Din

~ Oleh: Muhammad Ma’mun
3. Tentang Definisi Sombong dan Bahayanya. Sombong (al-kibr) terbagi menjadi dua aspek: (a) yang kelihatan (zhahir) dan (b) yang tersembunyi (bathin). Yang tersembunyi adalah karakter dalam ego, sementara yang kelihatan adalah tindakan-tindakan yang muncul dari anggota badan.
Sebutan ‘sombong’ lebih tepat diarahkan kepada karakter yang tersembunyi. Tindakan-tindakan sombong oleh anggota badan cuma ‘buah’ dari karakter tersebut. Karakter sombong dalam hatilah yang mendorong tindakan-tindakan ‘takabur’ oleh anggota badan. Yang menjadi sumber adalah karakter yang ada dalam ego, yaitu kecenderungan untuk memandang diri sendiri lebih mulia daripada orang lain. Inilah yang membedakan sombong dari bangga-diri (‘ujb). Bangga-diri tidak membutuhkan kehadiran orang lain. Bahkan seandainya manusia diciptakan sendirian, ia masih bisa bangga-diri. Sebaliknya, orang tak mungkin sombong kecuali dengan kehadiran orang lain: ia menganggap dirinya lebih tinggi dan superior daripada orang lain.
Untuk disebut sombong, tidaklah cukup seseorang menganggap dirinya hebat. Karena boleh jadi ia menganggap dirinya hebat, tapi ia merasa ada orang lain yang lebih hebat daripada dirinya atau setara dengan dirinya sehingga ia tidak takabur. Juga tidaklah cukup ia memandang rendah orang lain. Karena mungkin saja, ia memandang dirinya lebih rendah daripada orang tersebut.
Orang sombong itu pertama-tama menganggap dirinya memiliki suatu martabat, lalu orang lain ia anggap memiliki martabat berbeda, dan terakhir ia merasa martabatnya lebih tinggi daripada orang tersebut. Dari ketiga pemikiran ini, timbullah watak sombong; bukan bahwa pikiran-pikiran ini adalah kesombongan, tapi pikiran dan keyakinan ini mengembuskan perasaan sombong. Dari sini timbullah perasaan senang dan bangga dalam hatinya terhadap apa yang ia yakini dan egonya menjadi menggelembung karenanya. Perasaan senang dan bangga dalam hati itulah yang disebut watak sombong. Karena alasan inilah Rasulullah bersabda, “Aku berlindung kepada-Mu dari embusan kesombongan.”
Selanjutnya, perasaan sombong ini menimbulkan tindakan-tindakan yang kelihatan maupun yang tersembunyi sebagai buahnya. Ini yang disebut takabur. Ketika seseorang merasa dirinya lebih superior dibandingkan orang lain, ia akan memandang rendah dan mengejek siapapun yang martabatnya ia pandang lebih rendah daripada dirinya. Ia akan menjaga jarak dari mereka; menolak berkumpul dengan mereka dalam acara-acara seremonial; atau berbicara dengan intonasi dan mimik wajah yang meremehkan dengan mereka.
Ketika adu mulut atau berdebat, ia akan tersinggung ketika pendapatnya dibantah; ketika dinasihati orang lain, ia merasa gengsi untuk menerima pendapatnya; tapi ketika menasihati orang lain, ia tak bisa menahan diri dari berbicara kasar dan memaki. Bila ia mengajar, ia tak bisa bersikap lembut kepada anak-anak didiknya; ia sering merendahkan dan memarahi mereka; dan suka mengungkit-ungkit kebaikan dan perannya sebagai guru. Ketika ia berbicara di depan khalayak, ia memandang massa di hadapannya tak ubahnya kumpulan keledai.
Karena alasan ini Nabi bersabda, “Orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan, walaupun cuma seukuran benih sawi, tak akan masuk surga.” Sebab, kesombongan menjadi penghalang seseorang dari berakhlak yang baik terhadap sesama Muslim. Akhlak yang baik terhadap sesama Muslim merupakan gerbang menuju surga; dan kesombongan mengunci gerbang ini darinya. Orang yang sombong tak mungkin ‘mencintai sesama Muslim seperti ia mencintai dirinya sendiri’, tak bisa bersikap rendah hati, selalu diselimuti kedengkian, kebencian, dan amarah terhadap orang lain. Ia tak bisa berbicara dengan lembut dan penuh kasih sayang, dan tak mau menerima nasihat orang lain karena gengsi.

Leave a Comment