- Posted on
- Ihya' 'Ulum ad-Din
- 138 Views
Kitab Dzamm al-Kibr wa-l-‘Ujb (5) | Kitab ke-29 Ihya’ ‘Ulum ad-Din
~ Oleh: Muhammad Ma’mun
Allah berfirman kepada ‘Isa, “Bila Aku memberimu anugerah, dan Engkau menyambutnya dengan rendah hati, Aku akan menyempurnakan anugerah tersebut untukmu.”
Ibn as-Sammak pernah berkata kepada Harun ar-Rasyid, “Amir al-Mu’minin, kerendahhatianmu dalam kemuliaanmu lebih berharga daripada kemuliaanmu.” Harun berkata, “Engkau benar sekali.” Ibn as-Sammak kemudian melanjutkan, “Amir al-Mu’minin, saat seseorang diberi kekayaan, keelokan rupa, dan asal-usul keluarga yang baik oleh Allah, lalu memanfaatkan kekayaan tersebut untuk kebaikan, tetap rendah hati dengan asal-usul keluarganya, dan menjaga keelokan rupanya, dia akan dicatat sebagai orang yang tulus oleh Allah.” Harun meminta pena dan kertas lalu menuliskan kata-kata tersebut.
Di pagi hari, Sulaiman biasa mencari mereka yang kaya dalam kerajaannya, lalu duduk bersama mereka yang miskin. Ia berkata, “Orang miskin akan duduk bersama mereka yang miskin.”
Al-Hasan al-Bashri berkata, “Rendah hati artinya ketika Engkau keluar rumah dan Engkau berjumpa dengan seorang Muslim, Engkau selalu menganggapnya memiliki kelebihan di atas dirimu.”
Malik ibn Dinar berkata, “Seandainya seseorang memanggil dari gerbang masjid, ‘Manusia yang paling buruk keluarlah!,’ demi Allah, tak ada yang akan mau mengejarku mendatangi gerbang masjid kecuali dia yang datang karena dipaksa.” Ibn al-Mubarak yang mendengar ucapan ini berkata, “Kebesaran Malik karena hal ini.”
Abu-l-Fath ibn Syakhraf bermimpi bertemu dengan ‘Ali. Ia memintanya untuk memberikan nasihat. ‘Ali menjawab, “Alangkah baiknya kerendahhatian orang-orang kaya di hadapan orang-orang fakir karena mengharapkan pahala dari Allah; tapi yang lebih baik lagi adalah kemandirian orang-orang fakir dari orang-orang kaya karena percaya kepada Allah.”
‘Urwah ibn az-Zubair berkata, “Rendah hati adalah salah satu ciri orang mulia. Setiap anugerah pasti dipandang iri [oleh orang lain], kecuali kerendahhatian.”
Yahya ibn Khalid berkata, “Saat orang mulia mengamalkan ajaran agama, ia akan rendah hati; tapi saat orang bodoh mengamalkan ajaran agama, ia akan arogan.”
Abu Yazid al-Bishtami berkata, “Hingga seorang hamba berpikir tak ada seorang pun yang lebih buruk daripada dirinya, ia terhitung sebagai orang sombong.”