Dari Khurasan ke Damaskus, Lalu ke Afrika Utara dan Spanyol: Sedikit Cerita tentang Transmisi Karya-karya al-Ghazâlî (Bagian 1)

– Oleh Muhammad Ma’mun

Bahwa kita, yang hidup di abad ke-21 ini, masih bisa membaca karya-karya terkenal ulama Persia yang hidup di abad ke-11, Abû Hâmid al-Ghazâlî (1056-1111), seperti Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, Tahâfut al-Falâsifah, atau Misykât al-Anwâr, menurut saya, itu saja sudah mukjizat! Sebab, cuma 42 tahun setelah al-Ghazâlî wafat, yakni pada tahun 1153, Dinasti Saljuq yang menjadi tempat sang Hujjat al-Islâm mengabdi, mengalami keruntuhan akibat invasi bangsa nomad Oguz. Dengan hancurnya dinasti yang pernah berambisi menyatukan seluruh wilayah Dinasti ‘Abbâsiyah di masa jayanya ini, merosot pula kehidupan kultural dan intelektual Islam (Sunni) di Iran, seperti yang direpresentasikan oleh lembaga pendidikan tingginya yang terkenal, Madrasah Nizhâmiyyah.

Bencana alam seperti kekeringan dan gempa bumi dahsyat di abad ke-12, dan terutama sekali, perang saudara di antara para penganut mazhab Hanafî dan Syâfi‘î di Khurasan, semakin meluluh-lantakkan kehidupan urban di Iran sehingga mengalami krisis hebat. Secara perlahan, kehidupan intelektual yang pernah dihidupkan oleh Madrasah Nizhâmiyyah di kota-kota terkemuka Iran seperti Nisyapur, Merv, dan Herat, pun meranggas. Puncaknya adalah abad ke-13, yang menyaksikan invasi berdarah bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jenghis Khan. Para cendekiawan seperti asy-Syahrastanî atau Fakhr ad-Dîn ar-Râzî merupakan generasi terakhir ulama Sunni Persia yang masih bertahan.

Al-Ghazâlî tentu saja tidak mengetahui akan seperti apa nasib dinasti yang turut ia bina dan ia jaga itu. Ketika pada tahun 1106, ia didesak oleh Sanjar dan Fakhr al-Mulk agar mau mengajar (lagi) di Madrasah Nizhâmiyah Nisyapur, al-Ghazâlî langsung berkonsultasi kepada sejumlah Sufi tentang keputusan apa yang terbaik. Atas nasihat mereka, begitu al-Ghazâlî bercerita dalam otobiografinya al-Munqidz min adh-Dhalâl, ia bersedia mengajar di madrasah binaan pemerintah ini. Ia menyangka, kesempatan mengajar inilah yang akan membuatnya memiliki pengaruh besar di Dunia Islam dan akan menyebabkan ia meraih gelar “pembaru” (mujaddid) agama atau “pembangkit” agama (muhyî ad-dîn). Ternyata, ceritanya lebih berliku daripada yang ia bayangkan.

Kehancuran peradaban Islam (Sunni) di Iran juga barangkali yang membuat kita kurang banyak tahu tentang kehidupan al-Ghazâlî. Tahun kelahirannya cuma hasil spekulasi belaka. Latar belakang keluarga dan masa kecilnya nyaris seperti rekaan hagiografi saja. Bahkan perjalanan hidupnya pun diselimuti oleh misteri dan cerita bak legenda. Banyak karya besarnya, seperti kitab tafsirnya yang konon berjumlah 40 jilid, musnah. Begitu pula surat-surat dan dokumen pribadinya hanya sedikit yang bisa lestari. Tapi toh, karya-karyanya banyak juga yang lestari hingga kini. Bahkan dalam bentuk manuskrip dari abad ke-11, cuma beberapa tahun setelah wafatnya al-Ghazâlî. Dari mana kita mendapatkan teks-teks tersebut? Siapa saja ulama atau negarawan yang berjasa menyelamatkan dan mentransmisikan karya-karya al-Ghazâlî sejak ia wafat hingga bisa tersebar ke seluruh Dunia Islam?

Mengapa al-Ghazâlî berpikir, bila ia mengajar di Madrasah Nizhâmiyyah, pengaruhnya di Dunia Islam akan meningkat? Rasanya sudah tidak perlu dijelaskan lagi bahwa madrasah yang dirintis oleh wazir Nizhâm al-Mulk ini merupakan pusat kajian Islam yang paling prestisius di masanya. Banyak pelajar dari pelbagai penjuru dunia, bahkan dari Spanyol dan Afrika Utara, datang ke sana untuk menuntut ilmu. Bila karya-karya al-Ghazâlî dan kurikulum pendidikan yang ia ciptakan diajarkan di Madrasah Nizhâmiyyah, pengaruh ulama kelahiran Thûs ini akan semakin menjulang saja.

Dan begitulah kira-kira yang terjadi begitu al-Ghazâlî meninggal. Karya-karyanya tentang fikih dan usul fikih diajarkan di Madrasah Nizhâmiyyah Baghdad maupun Nisyapur. Dua orang figur yang patut disebut sebagai penerus ajaran-ajaran al-Ghazâlî di masa-masa awal ini adalah As‘ad al-Maihanî (w. 1130 atau 1132-33) di Baghdad dan Muhammad ibn Yahyâ al-Janzî (w. 1154) di Nisyapur. Tokoh yang disebut terakhir adalah penulis komentar (syarh) pertama terhadap kitab fikih al-Ghazâlî, al-Wasîth fî-l-Madzhab. Sayang buku ini hilang bersama dengan gugurnya sang penulis dalam huru-hara yang diakibatkan oleh serbuan bangsa Oguz Turki ke Khurâsân pada tahun 1154.

Terlepas dari tragedi ini, Madrasah Nizhâmiyyah di Nisyapur masih akan berdiri hingga abad selanjutnya ketika pasukan Mongol datang menyerbu. Tiga generasi setelah Muhammad ibn Yahyâ, ulama Iran yang lain, Abû-l-Qâsim ar-Râfi‘î (w. 1226), menulis komentar terhadap kitab fikih al-Ghazâlî yang paling ringkas, al-Wajîz. Guru besar Madrasah Nizhâmiyyah terakhir adalah Abû Bakr ibn ash-Shaffâr, yang gugur dalam usia 82 pada tahun 1221, ketika pasukan Mongol di bawah komando putera Jenghis Khan, Toluy, menyerbu dan membantai penduduk Nisyapur. Konon, ia telah mengajar al-Wasîth 40 kali ketika gugur dalam usia lanjut. Untunglah, suluh pengetahuan yang ia rintis di masa hidupnya belum ditakdirkan untuk padam. Salah seorang muridnya, Ibn ash-Shalâh asy-Syahrazûrî (w. 1245), melarikan diri dari serbuan Mongol dan kemudian memutuskan untuk menetap di Damaskus. Di sana, ia membangun tradisi pengkajian terhadap karya-karya fikih al-Ghazâlî dengan menulis komentar terhadap al-Wasîth.

Murid Ibn ash-Shalâh tiada lain adalah Yahyâ ibn Syaraf an-Nawawî (w. 1277). Di samping, seperti gurunya, menulis komentar terhadap al-Wasîth, an-Nawawî juga menulis kitab yang amat terkenal dalam semesta fikih Syâfi‘î: Raudhat ath-Thâlibîn wa ‘Umdat al-Muftîn, yaitu hâsyiyah terhadap komentar ar-Râfi‘î terhadap al-Wajîz karya al-Ghazâlî. Melalui tradisi ilmiah di Damaskus inilah, nama al-Ghazâlî menjadi kokoh dalam silsilah ulama Syâfi‘î dunia. Ketika Tâj ad-Dîn as-Subkî menulis kamus biografi para ulama Syâfi‘î dari masa awal hingga di zamannya, Thabaqât asy-Syâfi‘iyyah al-Kubrâ, ia menulis entri tentang al-Ghazâlî yang tidak hanya sangat baik, akan tetapi juga salah satu kisah hidupnya yang paling lengkap.

-> Lanjutkan Membaca Dari Khurasan ke Damaskus, Lalu ke Afrika Utara dan Spanyol: Sedikit Cerita tentang Transmisi Karya-karya al-Ghazâlî (Bagian 2).

Leave a Comment