Dari Khurasan ke Damaskus, Lalu ke Afrika Utara dan Spanyol: Sedikit Cerita tentang Transmisi Karya-karya al-Ghazâlî (Bagian 2)

– Oleh Muhammad Ma’mun

Transmisi karya-karya al-Ghazâlî dari Khurâsân ke Damaskus, yang melibatkan figur-figur mulai dari Muhammad ibn Yahyâ al-Janzî hingga Ibn ash-Shalâh asy-Syahrazûrî, betapapun menarik dan menegangkan, adalah perkembangan yang terjadi setelah sang Hujjat al-Islâm meninggal dunia. Padahal, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masa hayat al-Ghazâlî pun tak kalah menariknya. Malah lebih signifikan lagi.

Di sini, kita tidak boleh melupakan masa-masa antara tahun 1095 hingga 1106, sejak al-Ghazâlî meninggalkan Baghdad, mengembara sebagai seorang Sufi, naik haji ke Makkah dan Madinah, hingga ia kembali ke Baghdad dan Nisyapur. Di masa inilah ia bertemu dengan Abû Bakr Ibn al-‘Arabî yang datang dari Spanyol untuk sebuah misi diplomatik. Bukan semata berkonsentrasi dengan misi diplomatiknya di istana Khalifah di Baghdad, Ibn al-‘Arabî memanfaatkan masa tinggalnya di Timur untuk berguru kepada para ulama terkemuka di Baghdad dan Khurâsân, termasuk al-Ghazâlî, yang ia sebut dengan nama panggilan takzim: sang Dânisymand. Melalui perjumpaan-perjumpaan mereka di Baghdad, Abû Bakr memperoleh izin dari al-Ghazâlî untuk membawa pulang dan mengajarkan karya-karyanya di kampung halamannya.

Di kemudian hari, Abû Bakr Ibn al-‘Arabî berkembang menjadi cendekiawan yang semakin menjauh dan kritis terhadap gurunya. Pernyataan kritis yang sering dikutip oleh para kritikus al-Ghazâlî bahwa ia “masuk ke dalam perut filsafat dan ingin keluar darinya namun tidak mampu,” konon berasal dari Abû Bakr Ibn al-‘Arabî. Walaupun demikian, Ibn al-‘Arabî bukannya tidak berperan penting dalam penyebaran teks-teks Ghazalian di Afrika Utara dan Spanyol. Salah satu muridnya di Spanyol adalah Abû Ja‘far at-Turjâlî yang kemudian memiliki murid Abû-l-Walîd Ibn Rusyd. Berdasarkan silsilah intelektual ini, Ibn Rusyd, terlepas dari sikap kritisnya terhadap sang Dânisymand, semestinya adalah penerus tradisi al-Ghazâlî di Spanyol karena ia adalah murid dari murid dari murid al-Ghazâlî. Dan gema pemikiran al-Ghazâlî dalam pemikiran Ibn Rusyd tidaklah enteng. Ia menulis ringkasan kitab usul fikih al-Ghazâlî, al-Mustashfâ. Teori hermeneutika yang ia kemukakan dalam Fashl al-Maqâl adalah pengulangan saja dari teori al-Ghazâlî dalam Faishal at-Tafriqah.

Tokoh lain yang patut disebut dalam proses penyebaran ajaran al-Ghazâlî di Barat adalah pendiri Dinasti Almohad, Ibn Tûmart (w. 1130). Sayang informasi tentang hubungan Ibn Tûmart dengan al-Ghazâlî diselimuti oleh misteri dan legenda yang sulit dibuktikan kebenarannya. Yang pasti adalah bahwa ajaran-ajarannya sebagaimana dihimpun dalam kitabnya, A‘azzu Mâ Yuthlabu, sangat kuat diwarnai oleh teologi al-Ghazâlî.


Korpus al-Ghazâlî itu luas sekali. Mencakup pelbagai bidang mulai dari fikih, usul fikih, filsafat, teologi, hingga tasawuf. Maurice Bouyges memperkirakan jumlah buku-buku karangan sang Dânisymand, bila kita mengabaikan pengulangan judul buku yang sama atau yang apokrif, adalah 400-an judul. Dapatkah satu orang individu mempelajari seluruh buku ini? Apalagi bila kita mempertimbangkan bahwa al-Ghazâlî memiliki beragam sikap terhadap satu disiplin pengetahuan. Terhadap filsafat, misalnya. Ia menyerang beberapa aspek filsafat dalam Tahâfut al-Falâsifah, namun mengadopsi aspek-aspek yang lain dalam Misykât al-Anwâr, Ihyâ’, dsb. Terdapat risiko satu orang pengkaji akan menekankan satu aspek, dan mengabaikan aspek yang lain.

Kesan saya, transmisi karya-karya al-Ghazâlî oleh murid-muridnya mengalami proses ini. Sekelompok murid menekankan satu aspek dari pemikiran gurunya tapi mengabaikan aspek yang lain, dan kelompok murid yang lain menekankan aspek yang diabaikan oleh kelompok murid sebelumnya. Walaupun ini masih harus dibuktikan lebih jauh karena hanya merupakan hasil pengamatan sekilas, saya melihat perbedaan penyerapan pemikiran al-Ghazâlî ini berlangsung di Timur dan di Barat. Di Timur, para pengikut al-Ghazâlî yang menonjol adalah para teolog Asy‘arî dan ahli fikih Syâfi‘î yang lebih concern pada pemikiran fikihnya atau respons dialektisnya terhadap filsafat. Ini berlaku terutama kepada para ulama Damaskus yang rajin mengkaji dan menulis komentar terhadap kitab-kitab fikih al-Ghazâlî namun menolak pandangannya tentang pentingnya belajar logika Aristotelian. Di Iran, para ahli waris pemikiran al-Ghazâlî lebih berminat meneruskan tradisi Tahâfut al-Falâsifah daripada karya-karyanya yang lain. Ini berlaku terutama untuk Syaraf ad-Dîn al-Mas‘ûdî dan muridnya Ibn Ghailan al-Balkhî. Tapi nggak juga, kalau kita mempertimbangkan Fakhr ad-Dîn ar-Râzî yang dalam karya-karyanya berusaha mengkritik dan melampaui al-Ghazâlî.

Di Barat, sementara itu, karya-karya al-Ghazâlî yang menarik perhatian adalah kitab-kitab esoterisnya. Kalau saya menyebut istilah “esoteris,” maka yang dimaksud dalam konteks Maghrib bukan cuma kitab-kitab tasawuf seperti Ihyâ’, akan tetapi juga buku-buku al-Ghazâlî yang mengupas filsafat atau sangat kental diwarnai filsafat seperti Maqâshid al-Falâsifah atau Misykât al-Anwâr. Entah kenapa banyak ulama Maghrib gemar mengombinasikan filsafat dan tasawuf. Kita bisa menyebut contoh semacam Ibn Thufail, Ibn Sab‘în, Ibn Qasî, dsb yang pemikirannya merupakan percampuran ‘aneh’ antara filsafat dengan tasawuf. Di Barat kelihatannya, al-Ghazâlî dibaca dalam konteks percampuran semacam ini.

Karena pembacaan yang demikian, para ulama Maghrib yang konservatif dan tradisional menganggap karya-karya al-Ghazâlî berbahaya. Sejumlah ahli fikih di masa al-Murâbithûn bahkan merestui pelarangan dan pembakaran Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn yang mereka pandang banyak diresapi oleh ajaran filsafat Ibn Sînâ atau Ikhwân ash-Shafâ. Para Sufi Maghrib, sementara itu, memandang Ihyâ’ sebagai simbol perlawanan terhadap tradisionalisme dan kebekuan politik. Dalam konteks inilah, gerakan al-Muwahhidûn yang dipimpin oleh Ibn Tûmart berusaha mengeksploitasi sentimen pro-Ghazâlî untuk mendobrak iklim politik yang serba konservatif.

Mungkin gara-gara ini, karya-karya al-Ghazâlî yang ditransmisikan ke Barat Kristen adalah buku-buku filsafat dan esoterisnya. Tercatat, karya-karya sang Hujjat al-Islâm yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin atau Ibrani oleh para cendekiawan Kristen dan Yahudi adalah Maqâshid al-Falâsifah, Tahâfut al-Falâsifah, Mîzân al-Amal, hingga Misykât al-Anwâr. Tidak heran bila di mata para cendekiawan Barat hingga di masa Renaisans al-Ghazâlî dipandang sebagai seorang filosof tulen yang mengikuti ajaran-ajaran Avicenna.

Leave a Comment