Menimbang Sahabat Nabi Bersama al-Ghazâlî

– Oleh Muhammad Ma’mun

Salah satu sub-bab yang menarik perhatian saya dalam kitab teologi al-Ghazâlî, al-Iqtishâd fî-l-I‘tiqâd, adalah “Fî Syarh ‘Aqîdat Ahl as-Sunnah fî-sh-Shahâbah wa-l-Khulafâ’ ar-Râsyidîn,” yang ia masukkan sebagai ath-Tharf 3 dari Bâb 4 dari Quthb 4. Dus, hampir di akhir buku yang ia tulis ketika masih mengajar di Madrasah Nizhâmiyyah Baghdad, saat masih berumur 30-an tahun.

Berbicara tentang Sahabat Nabi dalam sebuah buku babon tentang teologi mungkin terkesan aneh bagi kita sekarang. Tapi kalau kita mengkaji sejarah tumbuhnya ilmu teologi dalam Islam, yang berawal dari skisma politik tak lama setelah Nabi wafat, kita mungkin akan memakluminya. Disiplin ilmu ini berkembang dari ‘respons teologis’ kelompok-kelompok politik awal seperti Khawârij, Murji’ah, dan Syî‘ah, atas konflik politik yang menimpa para Sahabat Nabi di era para Khulafâ’ ar-Râsyidûn.

Yang mereka perselisihkan adalah tentang status dan kewenangan para khalifah sebagai pengganti Nabi dalam kepemimpinan politik, bagaimana umat Islam memilih khalifah, apa yang harus dilakukan oleh umat bila khalifah melakukan pelanggaran hukum, dst. Dari soal inilah kemudian timbul pertengkaran antara kaum Syî‘ah yang meyakini bahwa khalifah memiliki otoritas religius di samping politis, dengan Khawârij yang bersikukuh bahwa para khalifah hanyalah pemimpin politik biasa yang bisa diangkat dan dicopot dengan sekehendak hati oleh rakyat.

Kaum Syî‘ah percaya terhadap kemaksuman para Imam—demikian mereka menyebut para pemimpin politik dan religius mereka—sementara kaum Khawârij tak segan untuk mencap kafir para khalifah yang mereka tuduh melanggar ketentuan-ketentuan Syariah. Bahkan status keislaman para Sahabat Nabi seperti ‘Alî, ‘Utsmân, Mu‘âwiyah, hingga ‘Â’isyah mereka jadikan sebagai pokok pertengkaran. Apakah mereka masih Muslim atau telah kafir karena melanggar hukum agama seperti yang mereka tuduhkan?

Jejak dari pertengkaran teologis ini masih kental terasa di abad ke-11, di masa hidup al-Ghazâlî. Dan dengan segan, ia menulis tentang soal ini dalam Iqtishâd. Dengan tegas ia menyebut Khawârij dan Syî‘ah sebagai golongan yang ‘ekstrem’ (isrâf) dalam menilai para Sahabat Nabi. Tuduhan kafir yang dialamatkan kepada para Sahabat Nabi oleh kaum Khawârij, di satu sisi, dan klaim Syî‘ah bahwa para Imam mereka adalah maksum, di sisi yang lain, adalah keyakinan yang keliru menurutnya.

Al-Ghazâlî mengajak kita untuk melihat konflik politik yang memecah belah para Sahabat Nabi di masa lalu sebagai soal ‘ijtihad politik’ belaka, di mana seorang Sahabat punya solusi tertentu tentang suatu persoalan politik, dan Sahabat yang lain memiliki pendapat lain. Dan kita tak perlu menghakimi keimanan seorang Sahabat Nabi hanya karena ia memilih pendirian politik yang kita sangka keliru. Toh, seorang mujtahid yang salah dalam ijtihadnya tetap mendapat pahala dari Allah karena ikhtiarnya.

Tapi kalau memang perselisihan di antara para Sahabat cuma karena perbedaan ‘ijtihad politik’ di antara mereka, lalu mengapa sampai terjadi perang di antara mereka? Al-Ghazâlî menjawab bahwa dalam konflik antara ‘Â’isyah dan ‘Alî, atau Mu‘âwiyah dan ‘Alî, boleh jadi masalahnya adalah mereka kehilangan kendali atas jalannya peristiwa. Dan kita sebaiknya berhati-hati dalam menerima narasi-narasi yang dituturkan oleh para penulis kronik sejarah, karena banyak di antaranya yang sudah ‘dibumbui’ demi memenuhi syahwat sektarian dan fanatisme.

Lagi pula, kata al-Ghazâlî, sebisa mungkin kita harus menghindari parasangka buruk terhadap orang lain, siapapun mereka. “Ketahuilah,” tulisnya, “bahwa di sini Engkau berada dalam posisi antara memilih berprasangka buruk dan mencela seorang Muslim dengan risiko Engkau menyebarkan kebohongan, atau memilih berprasangka baik dan menahan diri dari mencela seorang Muslim tapi Engkau keliru dalam pilihanmu.” Bagaimana kita memilih dalam dilema moral ini?

Pilihan al-Ghazâlî jelas. Ia menulis, “Keliru dalam berprasangka baik terhadap seorang Muslim adalah lebih selamat daripada benar dalam mencela sesama Muslim. Bahkan seandainya seseorang memilih untuk tidak melaknat Iblis, atau Abû Jahl, atau Abû Lahab, atau siapapun yang Engkau pandang jahat seumur hidupnya, ia tidak akan celaka karena memilih diam. Tapi sebaliknya, bila ia mencela seorang Muslim karena pelanggaran yang Allah tahu ia tak melakukannya, ia akan celaka karenanya.”

Sehabis paragraf ini, al-Ghazâlî kemudian beralih berbicara tentang Khulafâ’ ar-Râsyidûn. Merespons kebiasaan para penulis Syî‘ah yang membikin hierarki para Sahabat yang berpusat pada Ahl al-Bait dan para pendukung mereka, al-Ghazâlî menulis bahwa para Khulafâ’ ar-Râsyidûn adalah Sahabat Nabi yang lebih utama daripada yang lain. Dan bahwa hierarki mereka berurutan seturut kepemimpinan mereka dalam sejarah: dimulai oleh Abû Bakr, lalu ‘Umar ibn al-Khaththâb, ‘Utsmân ibn ‘Affân, dan ‘Alî ibn Abî Thâlib.

Tapi al-Ghazâlî segera mengingatkan bahwa hierarki keutamaan para Sahabat ini sebatas kesan lahiriah. Adapun posisi mereka secara spiritual di sisi Allah kita tak mungkin mengetahuinya karena kita membutuhkan penegasan langsung dari Tuhan mengenainya. Dan penegasan yang mutawâtir tentang soal ini tidak ada. Dan Nabi memberikan pujian setinggi langit kepada setiap Sahabat beliau tanpa memberikan pengecualian.

Bila kita tidak memiliki penegasan langsung dari Tuhan atau Nabi tentang hierarki di antara para Sahabat, maka manusia yang semestinya paling tahu tentang siapa yang lebih utama di antara para Sahabat tentu saja adalah mereka sendiri. Dan mereka sudah mufakat untuk memilih Abû Bakr, ‘Umar, ‘Utsmân, dan ‘Alî sebagai khalifah. Ini hanya mungkin karena mereka tahu bahwa keempat Sahabat ini lebih utama daripada mereka. Dan kita sebaiknya percaya dengan putusan mereka bukan?

Leave a Comment